A.
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Budaya mengembangkan
ciri-ciri yang khas, yakni unsur-unsur yang menekankan pada kedamaian, harmoni
dan silaturahmi (kerukunan dan welas asih). Agama islam dan budaya mempunyai
independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih.
Agama islam bersumberkan wahyu dan memiliki norma-normanya sendiri. Sedangkan
budaya adalah buatan manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Islam Jawa adalah islam
yang khas ala Jawa, gabungan nilai islam teologis dengan nilai-nilai tradisi
lokal, budaya, dan adat istiadat di Jawa. Budaya bukanlah sesuatu yang
berhenti, melainkan cair dan merupakan kelanjutan dari budaya sebelumnya,
berkembang dan terus-menerus berkembang, beradaptasi,
menyerap-mengambil-menginspirasi unsur-unsur dari luar dirinya.
Tuhan bermanifestasi
bukan hanya pada ciptaan fisik, yakni fisik alam dan manusia, melainkan juga
pada ciptaan-ciptaan non-fisiknya, termasuk hukum-hukum alam, hukum-hukum
kemanusiaan (psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan sebagainya), termasuk
budaya. Budaya jadi identik dengan hal-hal dari masa lalu dan implisit
terandaikan bahwa cara berperilaku orang saat ini bukanlah budaya (biasanya
sesuatu dipatenkan jadi budaya ketika ada krisis identitas, misalnya karena
merasa diserang budaya yang dianggap asing sehingga unsur-unsur masa lalu
dipanggil untuk membangun politik identitas dan nasionalisme).
2. Permasalahan
Berbagai bentuk adat dan budaya lokal yang di
apresiasikan melalui berbagai perilaku dan kebiasaan selama praktek tradisi
yang dilakukan mengandung unsur mitos dan tahayyul.
Belakangan ini wacana agama banyak
diwarnai dengan kekhawatiran, menguatkan eksklusivisme legal-tekstual bersama
masuknya paham Islam transnasional yang sayangnya cenderung bermusuhan dengan
budaya. Namun ada beberapa cara yang dapat dipakai dalam memandang hubungan
agama dan budaya, hubungan anatar keberagaman dan kebudayaan, yaitu :
1. Melihat
agama sebagai menghargai budaya sebagai sumber kearifan
2. Melihat
budaya sebagai warisan hikmah ketuhanan yang diturunkan lewat nabi-nabi yang
pernah diutus Tuhan sepanjang sejarah umat manusia
3. Pertanyaan
a. Apa
konsep kebudayaan di dalam Islam?
b. Apa
sajakan nilai-nilai Islam dalam budaya?
c. Apa
pengertian dari Jawanisasi Islam dan Islamisasi Jawa?
d. Bagaimana
bentuk dari proses pergeseran atau gesekan budaya setelah mengalami perjumpaan
antar budaya?
e. Bagaimanakah
tradisi tahlilan, kenduri dan peringatan kematian dalam budaya Jawa dan Islam?
4. Tujuan
a. Mampu
dan memahami arti dari konsep kebudayaan dalam islam
b. Mengetahui
nilai-nilai Islam dalam budaya
c. Mengetahui
arti dari Jawanisasi Islam atau Islamisasi Jawa
d. Mengetahui
proses perjumpaan budaya
e. Mengetahui
contoh dari Jawanisasi Islam
5. Hasil
yang di Harapkan
Dari
materi yang dibahas, kita dapat mengetahui konsep kebudayaan dalam islam dan
mampu mengenal kebudayaan yang berlandaskan atas ajaran Islam. Paham akan
pengertian Jawanisasi Islam atau Islamisasi Jawa. Dapat membedakan bahwa
kebudayaan Jawa (sesajen) tidak mengandung unsure sesaji, mitos.
B.
PEMBAHASAN
A. KEBUDAYAAN
ISLAM
1. Konsep
Kebudayaan dalam Islam
Kata kebudayaan dalam konteks Indonesia dicetuskan
oleh Mangkunegoro VII pada 1920. Kata kebudayaan berakar kata dari bahasa Jawa budhi jaya dan kabudidaya yang berarti memelihara tanah. Kebudayaan sepadan dengan
culture (Inggris), dan tsaqafah (Arab), dimana dapat dimaknai
sebagai hasil olah akal, budi, cipta, rasa, karsa, dan karya manusia
sebagaimana tampak dalam sikap batin.
Seringkali, kata kebudayaan ini
disejajarkan dengan kata peradaban, padahal di antara keduanya
terdapat perbedaan. Peradaban dalam bahasa Inggris disebut dengan civilization, dan dalam bahasa Arab
disebut sebagai al-hadlarah. Dari
pernyataaan itu, dapat diketahui bahwa peradaban merupakan aktivitas lahir,
bagaimana seseorang data menjadi warga (civic)
atau masyarakat (civitas) yang baik,
hidup tenteram, tertib, tidakbarbar dan berkemajuan. Itu sebabnya, penyebutan
kata kebudayaan sering dirangkai dengan peradaban, karena keduanya menjadi
terpadu antara dimensi lahir dengan batin. Dimensi batin dari kebudayaan ini
terutama sekali berasal dari unsur agama yang dianut oleh masyarakat, misalnya
masyarakat Muslim, sehingga membentuk kebudayaan Islam.
Secara umum kebudayaan dalam Islam dapat dipahami
sebagai hasil olah akal, budi, cipta, rasa, karsa dan karya manusia yang tidak
lepas dari nilai-nilai ketuhanan. Hasil olah akal, budi, rasa dan karsa yang
telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang universal berkembang menjadi
sebuah peradaban. Dalam perkembangannya, kebudayaan perlu dibimbing oleh wahyu
dan aturan-aturan yang mengikat, agar kebudayaan tidak terperangkap pada ambisi
yang bersumber dari nafsu hewani yang akan merugikan dirinya sendiri. Di sini
agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal budinya
sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab atau peradaban Islam.
Sehubungan dengan hasil perkembangan kebudayaan yang
dilandasi nilai-nilai ketuhanan atau disebut sebagai peradaban Islam, maka
fungsi agama di sini akan semakin jelas. Ketika perkembangan dan dinamia
kehidupan umat manusia mengalami kebekuan karena keterbatasan dalam memecahkan
persoalan kehidupannya, maka akan sangat terasa akan perlunya suatu bimbingan
wahyu.
Kebudayaan merupakan fenomena yang berkembang.
Perkembangan kebudayaan dalam suatu masyarakat terjadi karena perkenalannya
dengan kebudayaan lain atau akulturasi
budaya. Setelah mengalami pernjumpaan antarbudaya tersebut, maka kebudayaan
setempat bisa mengalami pergeseran atau gesekan budaya yang prosesnya dapat
mengambil beberapa bentuk: pertama,
etnosentris atau sikap eksklutif. Ini terjadi bilamana gesekan budaya tersebut
menimbulkan sikap curiga dan bahkan penolakan atas masuknya budaya asing yang
dianggap akan merusak atau menghilangkan
makna budaya setempat. Sikap menutup diri seperti ini bisa terjadi secara terus
menerus sehingga dapat menimbulkan kurangnya respek terhadap budaya, rasa, suku, daerah, adat, bahkan agama lain,
karena tumbuhnya sifat truthclaim atas budayanya sendiri seraya menolak budaya
asing.
Pada zaman yang demikian global ini, etnosentris dan
sikap eksklusif terhadap budaya lain menjadi hal yang perlu dihindari.
Interaksi dengan budaya lain merupakan suatu keharusan demi kemajuan kebudayaan
itu sendiri, agar dapat hidup bersama meskipun harus tetap menjaga identitas
budaya masing-masing.
Kedua,
melting-pot, yakni peleburan budaya. Proses ini jelas menghilangkan budaya
local maupun asing, karena pertemuan antara keduanya membentuk kebudayaan baru
yang berbeda dengan sebelumnya. Pergeseran budaya dalam bentuknya yang ekstrim
ini terjadi disebabkan karena derasnya arus global yang didukung oleh media
massa dan teknologi modern. Biasanya proses melting-pot ini sering disaksikan
dalam hal seni dan tradisi local. Lebih dari itu, melting-pot ini bisa
dilakukan melalui pendidikan, sebab pendidikan merupakan sarana yang efektif
bagi terjadinya asosiasi budaya.
Ketiga,pluralisme,
yakni sikap kemajemukan atau menerima perbedaan budaya tanpa menghilangkan
unsure khas dalam budaya asalnya. Jadi, sikap saling menghargai perbedaan
budaya masing-masing. Berangkat dari pendidikan multicultural ini diharapkan
tercipta sikap saling memahami, sehingga memudahkan upaya peningkatan budaya
damai antar bangsa, ras, etnis, suku, bahasa, dan agama. Sikap saling memahami
menumbuhkan penghargaan atas perbedaan satu sama lain.
Dari ketiga bentuk akulturasi budaya tersebut yang
sesuai dengan konteks global saat ini adalah bentuk ketiga, yaitu pluralisme
atau saling menghargai kemajemukan tanpa menghilangkan cirri khas
masing-masing. Dalam hubungannya dengan agama islam dan kebudayaan nasional,
dapat dikatakan bahwa umat islam telah banyak memberi corak budaya, baik lokal
maupun nasional.
Di Banyuwangi, misalnya tradisi khitanan dilakukan
dengan arak-arakan, tabur uang di jalanan, prosesi yang diiringi dengan
barongsai dan disambut dengan hadrah
kuntulan. Di Jawa Tengah dikenal dengan nama mitoni, prosotan, adat tedak sinten, ngruwat, dll, untuk menandai
suatu peristiwa penting dalam kehidupan sebuah keluarga, mulai dari perkawinan,
kehamilan, kelahiran, sampai khitanan. Di lingkungan Kraton Yogyakarta,
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. dirayakan dengan tradisi sekaten, yakni berasal dari kata syahadataini atau dua kalimat syahadat.
Selama sekitar satu bulan penuh, alun-alun sekitar Masjid Agung dan Kraton
Yogyakarta dimeriahkan dengan berbagai acara termasuk pasar malam.
Di Klaten, tradisi Yaa Qowiyyu masih dilaksanakan oleh warga setempat secara meriah.
Memang harus kita akui bahwa kadangkala beberapa tradisi adat istiadat yang di
praktekkan itu diselenggarakan demi syi’ar Islam, tetapi tidak jarang pula
diimbuhi dengan unsur mitos, sesajen, dan perilaku khurafat dan tahayuul.
Oleh karena itu, masuknya berbagai unsur tersebut perlu dicermati secara
mendalam dan bersikap arif, agar ajaran Islam dapat diamalkan secara murni.
Bentuk interaksi lain anatar Islam dan budaya tampak
dalam berbagai arsitektur bangunan, terutama Masjid. Sebelum Islam masuk Jawa,
masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni
arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai asli Jawa maupun yang telah
dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Hal itu ditunjukkan dimana telah berdiri
berbagai jenis bangunan di Jawa seperti candi, keraton, benteng, kuburan, meru,
rumah joglo, relief pada bangunan gapura, tata ruang desa/kota yang memiliki
konsep mencapat, hiasan tokoh wayang pada rumah, kuburan, dan padepokan.
Ketika Islam masuk ke Jawa, keberadaan arsitektur
Jawa yang telah berkembang dalam konsep filosofi Jawa tidak dapat dinafikan
oleh Islam. Jadi, Islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa maka
symbol-simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa, yang kemudian
memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan
sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan Muslim Jawa dalam karya
arsitektur. Masjid di Jawa biasanya dilenkapi dengan bedug dan kentongan,
keduanya berfungsi sebagai pertanda masuknya waktu shalat, yang pada masanya
dianggap sangat efektif sebagai sarana komunikasi.
Berbagai bentuk adat dan budaya lokal dari rasa
sikap keberagamaan umat yang di apresiasikan melalui berbagai perilaku dan
kebiasaan selama praktek tradisi yang dilakukan tidak mengandung unsure mitos,
khurafat, dan tahayyul.
2. Nilai-nilai
Islam dalam Budaya
Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para
da’i mendakwahkann ajaran Islam melalui bahasa budaya, sebagimana dilakukan
oleh para wali di tanah Jawa. Dengan kehebatan para wali Allah dalam mengemas
ajaran Islam dengan bahasa budaya setempat, sehingga masyarakat tidak sadar
bahwa nilai-nilai Islam telah masuk dan mejadi tradisi dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Lebih jauh lagi bahwa nilai-nilai Islam sudah menjadi
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Hal itu bisa dilihat dalam
upacara-upacara adat dan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa
Al-Qur’an/Arab sudah banyak masuk ke dalam bahasa daerah bahkan ke dalam bahasa
Indonesia yang baku. Semua itu tanpa disadari ternyata merupakan bagian dari
ajaran Islam.
B. JAWANISASI
ISLAM & ISLAMISASI JAWA
Istilah
jawanisasi Islam dan Islamisasi jawa memiliki pemahaman bahwa tidak ada islam
yang murni dan budaya jawa yang murni. Ada budaya jawa yang di’islamkan’ dan
ada ajaran Islam yang di’jawakan’.
Proses
penyebaran Islam di Jawa terdapat dua pendekatan yang ditempuh agar nilai-nilai
Islam dapat diserap menjadi bagian dari budaya Jawa. Pendekatan pertama disebut
Islamisasi kultur Jawa. Melalui
pendekatan ini budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam. Upaya ini ditandai
dengan penggunaan istilah-istilah Islam, penerapan hukum, norma-norma Islam
dalam berbagai aspek kehidupan. Pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam yang diartikan sebagai
upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam
budaya Jawa. Pada cara yang pertama Islamisasi dimulai dari aspek formal
terlebih dahulu sehingga simbol-simbol keislaman tampak secara nyata dalam
budaya Jawa, sedangkan pada cara yang kedua meskipun istilah dan nama-nama Jawa
tetap dipakai tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai-nilai Islam sehingga
Islam menjawa berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk produk budaya orang
jawa yang baragam islam cenderung mengarah pada polarisasi islam kejawaan
atau jawa yang keislaman sehinnga timbul istilah islam jawa atau islam
kejawen. Tampaknya tradisi antara islam dan budaya jawa ini telah berlangsung
sejak awal perkembangan islam di Jawa.
a. Tahlilan
Biasanya
acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh
keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara
bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat
sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai
do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi
bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada
yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan
(terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung
setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40
dan ke 100.
b. Kenduri
Masyarakat
Jawa memiliki berbagai macam kebudayaan yang sampai saat ini masih dilaksanakan
sehingga menjadi warisan budaya. Kebudayaan tersebut melahirkan berbagai macam
tradisi yang dianut oleh masyarakat jawa secara turun-temurun dari generasi ke
generasi. Salah satu tradisi yang dianut secara turun temurun adalah tradisi
Kenduri (Kenduren). Kenduri
juga beberapa kali disebutkan dalam HSR. AL Bukhori Muslim dalam al Bayan, no.
825, Rasulullah bersabda: “Maka Allah akan memberikan keberkahan kepadamu.
(kalau demikian) berkendurilah (laksanakan Walimah) walau hanya dengan
menyembelih seekor kambing.” Walimah disinilah yang di Indonesia kemudian
dikenal dengan sebutan kenduri.
c. Peringatan
Kematian
Masuknya Islam ke Jawa memberikan warna baru pada upacara-upacara dalam
tradisi Jawa, termasuk upacara kematian. Menurut keyakinan Islam, orang-orang
yang sudah meninggal dunia ruh nya tetap hidup sebagaimana menurut orang Jawa,
hanya saja ruh itu tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, yakn ialam
sebelum memasuki alam akhirat. Dari sini dapat dilihat bahwa baik dalam kepercayaan
Islam maupun Jawa mempunyai pandangan yang hampir sama, akan tetapi terkait
dengan kepercayaan orang jawa yang memandang bahwa roh-roh atau dhanyang-dhanyang itu menjaga dan
mengawasi seluruh masyarakat desa serta memberikan perlindungan sehingga perlu
diadakan upacara pemujaan dan pemberian sesaji Islam tidak sepakat, karena
menurut Islam, yang memberikan perlindungan hanya Allah dan ritual-ritual
yang diadakan untuk pemujaan kepada roh-roh halus sama saja dengan
menyekutukanTuhan (Allah), sehingga Islam melarang ritual-ritual sesaji.
C.
PENUTUP
Simpulan
:
Beberapa hal yang
melekat dengan Islam Pribumi antara lain. Pertama,
kontekstual yakni Islam dipahami sebagai ajaran yaarng terkait dengan konteks
zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk
kerja-kerja penafsiran dan ijtihad. Dengan demikian Islam akan mampu terus
memperbarui diri dan dinamis dalam merespon perubahan zaman. Selain itu, Islam
dengan lentur mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari
sudut dunia yang satu ke sudut dunia yang lain. Dengan kemampuan beradaptasi
kritis inilah sesungguhnya Islam benar-benar sholih li kulli zaman wa makan
(relevan dengan semua zaman dan tempat manapun).
Kedua, toleran. Kontekstualitas
Islam paa gilirannya meyaarkan bahwa penafsiran Islam yang beragam bukan hal
yang menyimpang ketika kerja ijtihad dilakukan dengan bertanggungjawab. Dengan
demikian, sikap ini akan melahirkan sikap toleran terhadap berbagai perbedaan
tafsir Islam. Lebih jauh lagi, kesadaran akan realitas konteks kejawaan yang
plural menuntut pula pengakuan yang tulus bagi kesederajatan agama-agama dengan
segala konsekuensinya.
Ketiga, menghargai
tradisi. Ketika menyadari bahwa Islam pada zaman Nabi pun dibangun di atas
tradisi lama (Arab) yang baik, hal ini menjadi bukti bahwa Islam tidak
selamanya memusuhi tradisi local. Jadi tradisi itu tidak dimusuhi, tetapi
justru menjadi sarana vitalisasi nilai-nilai Islam, karena niai-nilai Islam
perlu kerangka yang akrab dengan keidupan pemeluknya.
D.
DAFTAR
PUSTAKA
Kh Abdurrahman Wahid, dkk. 2015. Islam Nusantara, Jakarta: mizan
Assegaf, Abd Rachman. 2015. Studi Islam Kontekstual, Yogyakarta:
Gama Media
No comments:
Post a Comment